Haram hukumnya menafsiri Al Quran dengan pendapat akalnya sendiri (tanpa dalil), hal ini berdasarkan sabda Nabi Muhamad Saw

مَنْ قَالَ فِي القُرْآنِ بِرَأيِهِ أَوْ بِمَا لاَيَعْلَمُ فَلْيَتبَوّأ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

Barang siapa berbicara (tafsir) tentang Al Quran dengan pendapatnya sendiri atau tanpa disertai ilmu maka ia akan menempatkan dirinya di neraka. (HR. Abu Dawud dan Tirmizi)

Berbeda dengan takwil, karena mentakwil Al Quran bagi orang yang alim mengenai kaidah-kaidah[1] takwil dan menguasai ilmu-ilmu Al Quran yang dibutuhkan dalam mentakwil hukumnya tidak sampai haram (bahkan dianjurkan).

Perbedaan tafsir dan takwil bisa diketahui dengan penjelasan sebagai berikut:

Tafsir adalah bentuk persaksian (syahadah) atas Allah Swt dengan memastikan bahwa Allah menghendaki makna pada lafal yang ditafsiri, maka dari itu tidak diperkenan menafsiri Al Quran kecuali dengan dalil naqli (riwayat) yang telah dinas (sarihkan) Nabi Muhamad Saw atau dari sahabat-sahabatnya yang telah ikut menyaksikan turunnya wahyu. Oleh karenanya beliau Imam Hakim r.a. mengukuhkan bahwa bentuk penafsiran para sahabat itu derajat keabsahanya setara dengan hadis marfu’[2] secara mutlak.

Takwil adalah bentuk pen-tarjih-an (pengunggulan) salah satu dari beberapa makna yang tercakup pada lafal ayat, tanpa ada unsur persaksian dan pemastian makna sebagaimana dalam definisi tafsir di atas, oleh karena itu bila terjadi kesalahan dalam takwilan dapat diampuni (tolerir). Dari alasan ini timbulah perbedaan pendapat antara sekelompok sahabat dan para ulama salaf[3] tentang hukum menakwili ayat-ayat Al Quran, dan andaikata mereka menemukan nas (dalil takwil) dari Nabi Muhammad Saw, maka mereka tidak perlu repot- repot berselisih mengenai pendapat (takwilan). Dan ada juga sebagian ulama yang menolak adanya bentuk takwil (hukum) dengan bersandar pada kaidah saddan lilbab, yakni upaya menutup celah pintu kesesatan (dlolal) akibat dari kesalahan dalam menakwili ayat Al Quran. Wallahua’alam.


[1] Diantara kaidah- kaidahnya ialah kaidah sastra Arab, meliputi Ilmu Lughot, Istiqaq, Tashrif, Nahwu, Maani, Bayan, Badik, Arudl, Qowafi, Qordlu syair, Insyau natsr, Kiatb, Qiraat, dan Muhadlarat. Sedangkan kaidah aqliyah (logika) nya, meliputi Ilmu Mantiq, Jadal, Usul fiqih, Usuludin, Ilmu Ilahi, Thib (kedokteran), Falak, Filsafat, dan Kimia. (Syaikh Yasin, Faidlul Khobir, hlm. 46)

[2] Hadis yang disandarkan kepada Nabi Saw entah itu berupa ucapan, tindakan, mapun penentapan. Disebut marfu’ karena naiknya derajat hadis tsb. sebab disandarkan kepada Nabi Saw entah sanadnya mutasil (sambung) atau tidak (munqoti’). (Sayid Muhammad Al Maliki Al Hasani, Manhal Al Latif)

[3] Ulama-ulama kurun 1- 4 H.

Tinggalkan komentar