Melanjutkan tulisan yang telah lalu dengan tema “Melihat Perempuan untuk Dilamar”, sekarang kita memulai menulis tentang etika yang bertemaan “Kebebasan Perempuan Dalam Memilih Pasangan dan Lamaran dengan Dakwa Percobaan”. Tema ini diambil dari kitab Adabu al-Islam Fi Nidhām al-`Usroh karangan Abuya Sayid Muhammad Al-Hasani Al-Maliki

            Sudah seharusnya kita ketahui, bahwa memaksa perempuan yang telah berusia balig untuk menikah itu tidak diperbolehkan, entah ia masih gadis (bikr) atau sudah tidak perawan lagi (tsayib). Sebab banyak terjadi musibah, problem dan dampak negatif akibat praktik pemaksaan tersebut. Dan Islam sendiri melarang setiap tindak pemaksaan. Sirah Nabi pun membuktikan hal itu, sebagaimana riwayat hadis dibawah ini dari Imam Nasa’i meriwayatkan,

رَوَى النَّسَائِي أَنَّ فَتَاةً دَخَلَتْ عَلَى عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهَا، فَقَالَتْ إِنَّ أَبِي زَوَّجَنِي ابْنَ أَخِيهِ لِيَرْفَعَ بِي خَسِيسَتَهُ وَأَنَا كَارِهَةٌ ‏.‏ قَالَتِ اجْلِسِيْ حَتَّى يَأْتِيَ النَّبِيُّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرَتْهُ فَأَرْسَلَ إِلَى أَبِيهَا فَدَعَاهُ فَجَعَلَ الأَمْرَ إِلَيْهَا، فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدْ أَجَزْتُ مَا صَنَعَ أَبِي وَلَكِنْ أَرَدْتُ أَنْ أَعْلَمَ أَلِلنِّسَاءِ مِنَ الأَمْرِ شَىْءٌ

Imam Nasa’i telah meriwayatkan: “Bahwa ada seorang gadis datang kepada ‘Aisyah Ummul Mukminin r.a. dan berkata: ‘Ayahku menikahkan aku dengan anak saudara laki-lakinya agar dia dapat meningkatkan statusnya sendiri dengan itu, dan aku tidak mau.’ Dia (‘Aisyah) berkata: ‘Duduklah di sini sampai Nabi datang.’ Kemudian Rasulullah Saw. datang, dan aku mengatakan kepadanya (apa yang gadis katakan). Dia (Rasulullah ) mengirim kabar kepada ayahnya dan memanggilnya, kemudian menyerahkan masalah itu kepada gadis tersebut. Lalu dia (gadis) berkata: ‘Ya Rasulullah, aku menerima apa yang ayahku lakukan terhadapku, tetapi aku ingin tahu, apakah para wanita memiliki wewenang sedikitpun atas perkara itu?”. (HR. An-Nasa’i: 3269)

Perlu digaris bawahi; wajib hukumnya bagi laki-laki yang hendak melamar untuk jujur dalam menginformasikan hakikat keadaan atau kondisi dirinya yang sebenarnya, tanpa adanya unsur penipuan atau pengelabuan dalam pengakuan. Karena menipu adalah perbuatan yang bertolak belakang dengan ajaran agama. Mengenai hal ini Rasulullah Saw. bersabda:

مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا

Barangsiapa yang menipu, maka ia tidak termasuk golongan kami. (HR. Ibnu Hibban)

Selain sabda Nabi Saw. dikuatkan oleh atsar sahabat, yakni Sahabat Sayidina Umar bin al-Khatab r.a. pernah memberi wejangan kepada seseorang laki-laki yang hendak menikah, sedangkan ia (laki-laki) adalah orang yang tidak bisa dikaruniai anak; dengan kalimat seperti ini: “Kabarkan padanya (perempuan yang akan kamu nikahi) bahwasanya kamu adalah orang mandul”.

            Imam Ad Dulaimi juga meriwayatkan sebuah hadis dalam kitab Musnad al-Firdaus dari Sayidah ‘Aisah r.a. dari Rasulullah Saw. bersabda:

إذَا خَطَبَ أحَدُكُم المَرْأَةَ وَهُوَ يَخْضِبُ بِالسَّوَادِ، فَلْيُعْلِمْهَا أنَّهُ يَخْضِبُ

Apabila salah satu dari kalian hendak meminang wanita, sedang ia (laki-laki) menyemir (rambutnya) dengan warna hitam, maka beritahulah wanita tersebut bahwa ia memang benar-benar menyemir (rambut) nya. (HR. Ad Dulaimi)

            Kewajiban peminang adalah terbuka dalam memberitahukan hal rahasia yang masih ada hubunganya dengan kemasalahatan pada dua pihak (pelamar dan yang dilamar). contoh bukti analisis, bahwa seorang wanita itu tidak suka (minat) laki-laki beruban di kepalanya. Maka diamnya peminang atas kasus seperti ini adalah bentuk penipuan dan pengelabuan terhadap perempuan yang akan ia pinang. Wallahu’alam.

  • Hubungan Lamaran dengan Dakwa Percobaan

Islam memperbolehkan bagi seseorang laki-laki yang berazam (niat kuat) untuk meminang perempuan dengan besar harapannya dia akan diterima, yakni boleh untuk melihatnya; tujuanya adalah agar pernikahannya nanti didasari atas saling mengetahui, dan selebihnya (melihat) itu bukanlah tuntunan Islam melainkan jerat setan dan tradisi kufar.

Bagi seorang perempuan dalam fase status lamaran ia memang tidak mampu _menurut prasangkanya_ mengetahui identitas atau sifat calon suaminya yang sebenarnya, dan juga sebaliknya (calonnya). Kendatipun demkian, ketika dari keduanya berakhlak buruk dan busuk, maka mereka saling menutup diri terkecuali untuk hal-hal yang hanya mereka senangi. Sehingga yang mereka ketahui bahwa proses ini hanyalah tahap atau fase pengetesan dan percobaan saja. Oleh karena itu ia sebagai perempuan tidak berani membuka identitas dirinya yang sebenarnya dan enggan menampakan kebaikan maupun keburukannya.

Perempuan seperti inilah yang akan kehilangan sifat femininnya jikalau ia rela menjadi bahan permainan para laki-laki, bahkan ia bagaikan barang dagangan yang murah tak bernilai, sebab ia terlalu mudah diraih hanya dengan modal cinta (hasrat) dan hanya sebagai medan pengetesan dan percobaan saja.

Sungguh saya (Abuya Sayid Muhmmad) khawatir rasanya, terhadap taklid buta ini bila nanti setiap muslim menjadikannya sebagai tuntunan yang mereka anut. Besertaan hal itu adalah bentuk tantangan (melawan) secara terbuka terhadap etika-etika yang telah dibangun Islam sebelumnya. Dengan demikian tidak akan mendapat balasan bagi pelakunya kecuali murka Allah Swt. falaa haula walaa quata illa billahil ‘aliyil ‘adiim.

            Sudah banyak yang telah kita lihat terjadi problem yang sangat pelik dan musibah akibat pemikiran kotor ini. Dan korban kejahatannya ialah anak perempuan yang masih labil yang kehilangan kehormatan sebab janji-janji manis dan harapan-harapan palsu yang dibualkan laki-laki terhadap dirinya. Sehingga hanya dengan modal itu pasangannya dengan mudah  menakhlukan hatinya (dan berlaku sebaliknya). Lalu setelah keinginannya berhasil dan puas kemudian pasangan (pelamar)  pergi meninggalkan perempuan yang dipinang begitu saja,  dengan dalih dakwaan bahwa “perempuan tersebut bukanlah wanita setia dan tidak dapat  dipercaya untuk membangun keluarga ke depannya, sebagaimana seorang isteri yang bisa menjaga dirinya saat suaminya tidak bersamanya!”. Wallahua’alam.  

Tinggalkan komentar