Melanjutkan tulisan yang telah lalu dengan tema “Kebebasan Perempuan dalam Memilih Pasangan dan Lamaran dengan Dakwa Percobaan”, sekarang kita memulai menulis tentang etika yang bertemaan “Ketentuan Mahar dan Pesta Perkawinan”. Tema ini diambil dari kitab Adabu al-Islam Fi Nidhām al-`Usroh karangan Abuya Sayid Muhammad Al-Hasani Al-Maliki.

                Mahar atau maskawin adalah harta berharga atau bentuk manfaat[1] yang diwajibkan atas mempelai laki-laki, yakni pemberian wajib kepada mempelai perempuan sebab akad nikah yang berlangsung.

            Mengenai mahar, Islam tidak menentukan batas nominalnya yang diwajibkan, akan tetapi besar kecilnya itu disesuaikan menurut kadar kemampuan sang mempelai laki-laki atau menurut kesepakatan bersama (dua mempelai).

            Namun, termasuk etika islami bahwa Islam menganjurkan kepada mempelai laki-laki untuk memberikan mahar yang tidak sampai berlebihan, yang di situ sifatnya menekan atau memberatkan; bahkan Islam juga tidak mensyaratkan dengan nominal sampai diatas batas kewajaran yang nantinya bisa menjadi bumerang terhadap para pemuda sebagai penghalang minat untuk menikah, sebab mereka merasa tidak sanggup untuk memenuhi tuntutan yang memberatkannya, seperti halnya ketidaksanggupan untuk memenuhi sebuah tuntutan bagi orang yang sudah berpenghasilan (gaji) tetap.

Mengenai hal ini Rasulullah Saw. pernah menyabdakan pesan kepada laki-laki yang hendak menikahi perempuan dengan mahar sebesar empat Uqiyah[2] yang terhitung berlebihan di kala itu, dengan sabda beliau:

كَأَنَّكُمْ تَنْحِتُونَ الْفِضَّةَ مِنْ عَرْضِ هَذَا الْجَبَلِ

Seolah-olah kamu memahat perak dari gunung ini. (HR. Muslim)[3]

Nabi Muhammad Saw. juga menekankan kepada umatnya untuk tidak bermahal-mahalan dalam memberi mahar kepada perempuan, dengan sabda beliau:[4]

أَلَا لَا تُغَالُوا صَدُقَةَ النِّسَاءِ، فَإِنَّهَا لَوْ كَانَتْ مَكْرُمَةً فِي الدُّنْيَا أَوْ تَقْوَى عِنْدَ اللَّهِ؛ لَكَانَ أَوْلَاكُمْ بِهَا نَبِيَّ اللَّهِ

Ingatlah, janganlah bermahal-mahal dalam mahar wanita. Sebab, seandainya (bermahal-mahal dalam) mahar itu merupakan kemuliaan di dunia atau merupakan ketakwaan di sisi Allah, niscaya yang paling berhak melakukannya di antara kalian adalah Nabiyyallah Saw.[5] (HR. Shohibu As-Sunan)

إِنَّ مِنْ يُمْنِ الْمَرْأَةِ تَيْسِيرَ خِطْبَتِهَا وَتَيْسِيرَ صَدَاقِهَا وَتَيْسِيرَ رَحِمِهَا

Sesungguhnya termasuk keberkahan seorang wanita adalah mudah dipinang, mudah maharnya, dan mudah rahimnya[6]. (H.R Ahmad).

  • Memperlihatkan dan Mengumumkan Pernikahan

Sunah hukumnya mempertunjukan upacara pernikahan dan mengumumkannya di depan kalayak umum, _biasanya dengan cara mengundang tamu _  agar pernikahan kedua mempelai disaksikan orang-orang awam maupun orang-orang khsusus. Sebab cara itu termasuk anjuran dari Nabi Muhammad Saw. dalam sabda beliau,

أَعْلِنُوا هَذَا النِّكَاحَ، وَاجْعَلُوْهُ فِيْ المَسَاجِدِ ، وَاضْرِبُوْا عَلَيْهِ بِالدُّفُوْفِ

Umumkan pernikahan, adakan akad nikah di masjid, dan meriahkan dengan memukul rebana. (HR. Turmudzi, 1:202 dan Baihaqi, 7:290)

Dalam riwayat lain Nabi Muhammad Saw. bersabda,

فإنَّ فَصْلَ مَا بَيْنَ الْحَلاَلِ وَالْحَرَامِ الإعْلاَنُ

Sesungguhnya pemisah antara halal dan haram adalah mengumumkan )pernikahan).[7]

Namun dari semua itu, dalam menyelenggarakan upacara pernikahan harus memperhatikan  syarak, yaitu dengan menghindari hal-hal yang bersifat berlebih-lebihan (boros) dan adanya kesan (berlagak) ajang kesombongan dalam memeriahkannya, karena dengan cara seperti itu bisa menimbulkan banyak fitnah, begitu juga menanggung kerugian dari sisi agama maupun dunia (harta benda).

Dan sebisa mungkin, penyelenggara dapat menjahui tradisi-tradisi yang bertentangan dengan aturan Islam, tradisi yang bisa merusak esensi agama sebab terintervensi olehnya. Konkritnya, sebagaimana yang telah berlaku di masyarakat sekarang ini, seperti bertemunya (masuk) mempelai laki-laki di antara wanita-wanita yang bukan mahramnya, begitu juga saudara-saudara dan keluarga yang menemaninya bersama, sehingga dalam upacara tersebut terdapat praktik bercampur baur (ikhtilath) antara keluarga mempelai laki-laki dan keluarga mempelai perempuan.

Dan yang perlu dihindari lagi ialah kebiasaan mengambil gambar foto bersama-sama  tanpa ada rasa malu kepada Allah Swt. sebab tidak adanya rasa girah[8] sama sekali atas kehormatan diri atau penghormatan terhadap tempat yang ditempati (Sayid Muhammad mencontohkan tanah Mekah sebagai misalnya).

  • Walimah atau Resepsi pernikahan

Walimah[9] merupakan bagian dari etika Islam yang dinjurkan (sunahkan) dalam acara pernikahan, dalam hadis Nabi Muhammad Saw. bersabda,

 أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ

 Selengarakanlah walimah walaupun hanya dengan menyembelih seekor kambing. (HR. Bukhari)

            Namun, harus ada batas toleran, dalam menyelenggarakan walimah tidak boleh mengkususkan hanya pada orang-orang kaya sebagai tamu yang diundangan, karena hal ini bertolak belankang dengan ajaran Rasulullah Saw. dalam sabda beliau,

شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الوَلِيْمَةِ يُدْعَى إِلَيْهِ الأَغْنِيَاءُ وَيُتْرَكُ الفُقَرَاءُ

          Makanan paling buruk ialah makanan walimah (resepsi) nikah, hanya orang-orang kayalah yang diundang, sedangkan orang-orang miskin dibiarkan. (HR. Bukhari)[10] Wallahua’lam.


[1] Seperti keahlian seorang laki-laki untuk diajarkan kepada isterinya, misal mengajarkan Alquran. Ini boleh dibuat mahar dan sah.

[2] Sama dengan 4 x RP. 2.400.000 = RP. 9.600.00,-

[3] Imam an-Nawawi mengatakan: makna hadis tersebut adalah tentang kemakruhan memperbanyak mahar dengan melihat kondisi mempelai laki-laki (Syarh Shahih Muslim, Juz: 9, hlm. 211)

[4] Dari analis penulis, bahwa yang berkata pada matan hadis di atas adalah Sayidana Umar nin al-Khatab, bukan Rasulullah Saw. dengan bukti lanjutan teks bahwa yang dibicarakan adalah baginda Nabi Saw. Wallahua’alam.

[5] Sayidina Umar berkata:

مَا عَلِمْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَكَحَ شَيْئًا مِنْ نِسَائِهِ وَلَا أَنْكَحَ شَيْئًا مِنْ بَنَاتِهِ عَلَى أَكْثَرَ مِنْ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ أُوقِيَّةً

namun demikian, beliau tidak pernah memberi mahar kepada seorang pun dari isteri-isterinya dan tidak pula seorang pun dari puteri-puterinya lebih dari 12 uqiyah. [HR. Tirmidzi]( Setara Rp 28 Juta) (1 Uqiyah = 40 dirham, 1 Dirham= Rp. 60.000,-  Jadi 1 Uqiyah= Rp. 2.400.000,-). https://annur2.net/maskawin-barokah/

[6] Mudah melahirkan

[7] Dalil alasan kenapa pernikahan sunah diumumkan,

نظَّمَ الشَّرعُ الحكيمُ أُمورَ الزَّواجِ الشَّرعيِّ، وحثَّنَا النَّبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ على كلِّ خيرٍ وفَضيلةٍ وأمَرَنا بنَشرِ المَكارِمِ، ومِن ذلك إشهارُ النِّكاحِ الشَّرعيِّ.
وفي هذا الحديثِ تقولُ عائشةُ رضِي اللهُ عنها: قال النَّبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: “أعْلِنوا هذا النِّكاحَ”، أي: أشهِرُوا هذا الزَّواجَ بينَ النَّاسِ، “واضْرِبوا عليه بالغِربالِ”، أي: بالدُّفِّ، وعندَ ابنِ ماجَه، من حديثِ محمَّدِ بنِ حاطِبٍ، قال: قال رسولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: “فَصْلُ ما بينَ الحَلالِ والحَرامِ الدُّفُّ والصَّوتُ في النِّكاحِ”؛ لكي يَتميَّزَ النِّكاحُ الشَّرعيُّ الصَّحيحُ الَّذي جاء به الشَّرعُ عن السِّفاحِ فلا بُدَّ مِن الإعلانِ والإشهارِ؛ لأنَّ الزِّنا هو نِكاحُ السِّرِّ، أمَّا الزَّواجُ فهو النِّكاحُ المُعلَنُ والمُظْهَرُ.
ولكنْ إذا انعقَدَ النِّكاحُ بحُضورِ وَلِيِّ المرأةِ مع شاهِدَيْ عَدْلٍ، مع توفُّرِ أركانِ العقْدِ الأُخرى مِن صَداقٍ وصِيغَةٍ، فهو نِكاحٌ صَحيحٌ على كلِّ حالٍ، ولا يُعْتَبَرُ هذا إشهارًا للنِّكاحِ؛ لأنَّ المقصودَ بالإشهارِ: الضَّربُ بالدُّفِّ، والغِناءُ المُباحُ، وإظهارُه بينَ النَّاسِ.
وفي الحديثِ: الحثُّ على إعلانِ النِّكاحِ الشَّرعيِّ للتَّفريقِ بينَه وبينَ نِكاحِ السِّفاحِ المَشكوكِ في صِحَّتِه.
وفيه: اهتمامُ النَّبيِّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ بحِفْظِ أعراضِ النَّاسِ وحُقوقِ الذُّرِّيَّةِ النَّاتجةِ عن النِّكاحِ المُعلَنِ، مع حِفْظِ حَقِّ المُجتَمعِ في نَشْرِ الفَضيلةِ (ابن حجر العسقلاني،  تخريج مشكاة المصابيح: 3/266 ) 

[8] Semangat dan dorongan untuk membela kehormatan  diri, keluarga, dan agama. (KBBI V)

[9] Walimah diambil dari kata walm bahasa Arab, yang artinya berkumpul; karena berkumpulnya orang-orang untuk jamuan makan. Sedangkan menurut syarak walimah adalah nama untuk setiap undangan atau jamuan yang diselenggarakan seseorang sebab mendapat sesuatu yang menggembirakan dsb.

Hukum menyelenggarakan walimah adalah sunah tanpa terkecuali, entah itu nikah, khitan, kelahiran dsb., begitu juga hukum mengadiri undanganya. Akan tetapi dikecualikan walimah pernikahan, sebab hukum memenuhi undangannya adalah wajib/fardu ain. Namun, dengan syarat-syarat tertentu, diantaranya sbg.

  • Islamnya orang yang mengundang dan yang diundang
  • Undangan merata (tidak mengkhususkan sebagian kelompok saja) bila memungkinkan
  • Mengundang pada waktu hari pertama, bila resepsi diselenggarakan beberapa hari misalnya
  • Tidak adanya uzur. (Sayid Ahmad bin Umar as-Syatiri, Al-Yaqut An-Nafiis, Al-Haramain, hlm. 147)

[10] Adapun terusan hadisnya, “Barang siapa yang tidak memenuhi undangan, maka sungguh ia durhaka kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya”.

Tinggalkan komentar