Melanjutkan tulisan yang telah lalu dengan tema “Ketentuan Mahar dan Pesta Perkawinan”, sekarang kita memulai menulis tentang etika yang bertemaan “Memaknai  Silaturrahmi”. Tema ini diambil dari kitab Adabu al-Islam Fi Nidhām al-`Usroh karangan Abuya Sayid Muhammad Al-Hasani Al-Maliki.

Seduluran di sini merupakan kata lain dari silaturahmi. Sudah jelas, bahwa umat islam adalah himpunan dari beberapa keluarga besar yang terdiri dari keluarga-keluarga kecil muslim. Maka apabila dari beberapa keluarga besar dan kecil itu saling berkesinambungan dalam berukhuwah, pasti jadilah umat Islam yang hakiki, berdiri tegak melaksanakan perintah Allah, tunduk terhadap larangan-Nya, dan menjadi umat bermartabat, berwibawa dan berbudi luhur. Lantas Allah Swt. menjadikannya sebagai khalifah (wakil) di bumi; memberi keleuasaan terhadap agama yang diridai-Nya, serta memberi kekuasaan penuh di bumi untuk menjaganya dari orang-orang yang lalim.

Dengan demikian pantas bagi mereka disebut dengan gelar umat terbaik, umat yang dilahirkan untuk seluruh manusia, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Sebagaiman Firman Allah Swt:

كُنْتُمْ خَيْرَ اُمَّةٍ اُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ

Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. (Ali ‘Imran: 110)[1]

Dari sini telah tampak jelas bagi kita, wahai orang-orang muslim! Keadilan Allah bagi orang-orang yang berani memutus tali ukhuwah islamiah (persaudaraan); bagi orang-orang yang enggan melaksanakan kewajiban dari hak-hak keluarga muslim, begitu juga umat islam secara umumnya; dan bagi orang-orang yang tidak peduli terhadap akibat (konskwensi) memutus tali persaudaraan dari bahaya-bahaya (madlorot) yang kembali kepada umat atau keluarga besar Islam. Wallaahu yuwaffiqu man yasyaa’ limaa yasyaa’ wahuwaal hakiimul khabiir.

Perlu diketahui, makna rahim[2] (saudara) ada dua macam; pertama dipandang secara umum, dan kedua secara khusus.  Ditinjau dari segi umum, bahwa (rahim)[3] persaudaraan itu dibangun atas satu dasar ikatan agama Islam dari seluruh muslim dari berbagai belahan dunia.  Ikatan persaudaraan atas agama ini merupakan nikmat besar yang telah diberikan Allah Swt. kepada seluruh umat Islam tanpa terkecuali, sehingga mereka satu sama lain menjadi satu saudara (sebagaimana saudara kandung). Alquran telah menyebutkannya yang berbunyi:

إنَّمَا المُؤْمِنُوْنَ إِخْوَةٌ

Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. (Al Hujaraat: 10)

فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانَا

Lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara. (Ali ‘Imran: 103)

Ikatan rahim ini (secara umum) mewajibkan antara saudara untuk saling mencintai, menasehati, bersikap adil, dan jujur. Tetap menegakkan hak-hak yang wajib dan bermaslahah dan juga membela hak-hak dalam situasi dan kondisi tertutup maupun terbuka dengan usaha sepenuhnya.

Sedangkan rahim (saudara) secara khusus ialah hubungan kekerabatan atau persaudaraan yang diikat antara keluarga satu dengan keluarga yang lain dengan hubungan khusus, seperti hubungan kebapakan, kepamanan dsb. Ikatan persaudaran ini mewajibkan sebagaimana halnya ketentuan yang ada pada rahim yang ditinjau secara umum dengan ditambah lagi adanya kewajiban memberikan nafkah kepada keluarga yang menjadi tanggung jawabnya, lebih intens dalam memperhatikan kondisi dan tingkah laku keluarganya dari kesalahan atau kelalaian.

Jadi bisa disimpulkan, bahwa hubungan persaudaran yang ditinjau dari segi umum maupun khusus ialah mewajibkan untuk saling menyalurkan kebaikan dan mencegah kejahatan (keburukan) sebisa mungki menurut kadar kemampuan antar sesama.

  Allah Swt. berfirman:

فَهَلْ عَسَيْتُمْ اِنْ تَوَلَّيْتُمْ اَنْ تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ وَتُقَطِّعُوْٓا اَرْحَامَكُم *  اُولٰىِٕكَ الَّذِيْنَ لَعَنَهُمُ اللّٰهُ فَاَصَمَّهُمْ وَاَعْمٰٓى اَبْصَارَهُمْ *  اَفَلَا يَتَدَبَّرُوْنَ الْقُرْاٰنَ اَمْ عَلٰى قُلُوْبٍ اَقْفَالُهَا

Maka apakah sekiranya kamu berkuasa, kamu akan berbuat kerusakan di bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka itulah orang-orang yang dikutuk Allah; lalu dibuat tuli (pendengarannya) dan dibutakan penglihatannya. Maka tidakkah mereka menghayati Al-Qur’an ataukah hati mereka sudah terkunci?. (Muhammad: 22-24)

Untuk lebih bisa memaknai dan mengimplemantasikan makna silaturahmi, perlu adanya dalil-dali yang lebih spesifik menyinggungnya. Dimulai dari hadis riwayat Imam Bukhari dan Muslim dari Sahabat Jubair bin Mut’im r.a. bahwa Nabi Saw. pernah bersabda,

لاَ يَدْخُلُ الجَنَّةَ قَاطِعُ رَحِمٍ

Tidak akan masuk surga orang yang memutus tali persaudaraan. (HR. Bukhari dan Muslim)

Makna hadis diatas adalah “Barang siapa berani memutus tali persaudaraan, maka ia tidak akan masuk surga bersama orang-orang yang lebih awal masuk surga, akan tetapi ia akan masuk surga bagian akhir menurut kadar waktu sangsi yang ia terima sebab meninggalkan kewajiban sebagai saudara dan berani menerjang keharaman dengan memutus tali persaudraan yang Allah Swt. perintahkan untuk menyambunganya”. 

Kebalikan dari dampak qot’u rahim (memutus tali persaudaraan) yaitu keutamaan  silataturahmi, sebagaimana hadis riwayat Imam Bukhari dan Muslim dari Sahabat Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda,

مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ، وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ، فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

Barangsiapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan ditangguhkan ajalnya (dipanjangkan umurnya), hendaklah ia bersilaturahim. (HR. Bukhari dan Muslim)[4]

Maksud dari arti hadis “ditangguhkan ajalnya” adalah “Bahwa Allah Swt. akan memberkahi di dalam urusan rizki dan umurnya, sebab silaturahminya seseorang bisa mendatangkan taufik dari Allah Swt. untuk beramal salih, karena tidak mungkin dapat dilaksanakan suatu amal yang salih kecuali bagi orang-orang yang dipanjangkan umurnya dan diperbanyak rizkinya”.

Ada lagi hadis yang diriwayatkan Al Bazzar dengan sanad jayid dari Rasululah bersabda:

مَنْ سَرَّهُ أنْ يُمَدَّ لَهُ فِيْ عُمُرِهِ،  وَيُوَسَّعَ لَهُ فِيْ رِزْقِهِ، وَيُدْفَعَ عَنْهُ مَيْتَةَ السُّوْءِ، فَلْيَتَّقِ اللهَ وَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

Barang siapa yang suka usianya dipanjangkan, rezekinya diluaskan, dan dilindungi dari mati dalam keadaan tidak baik, maka hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dan memnyambung tali kerabatnya.  (HR. Bazzar)

Keutamaan lain dari silaturahmi adalah sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Imam Thabrani dengan sanad hasan dari Nabi Saw. bersabda:

إنَّ اللهَ لَيَعْمُرُ بِالقَوْمِ الدِّيَارَ وَيُثْمِرُ لَهُمُ الأَمْوَالَ وَمَا نَظَرَ إلَيْهِمْ مُنْذُ خَلَقَهُمْ بُغْضًا لَهُمْ، قِيْلَ: وَكَيْفَ ذَاكَ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ بِصِلَتِهِمْ أرْحَامَهُمْ

Sesungguhnya Allah akan membangun suatu negeri untuk kaum dan menambahkan harta kekayaan mereka dan tidak pernah memandang kepada mereka dengan kebencian sejak mereka diciptakan. Sahabat bertanya : Bagaimana hal itu dapat terjadi ? Rasul menjawab: “Hal itu terjadi sebab mereka selalu mengadakan silaturahmi antara sesama mereka”. (HR. Thabrani)

Kemudian hadis qudsi riwayat Imam Tirmizdi yang telah disahihkan dari Nabi Saw. pernah bersabda:

قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ : أنَا اللهُ، وَأنَا الرَّحْمَنُ، خَلَقْتُ الرَّحِمَ وَشَقَقْتُ لَهَا اسْمًا مِنِ اسْمِي، فَمَنْ وَصَلَهَا وَصَلْتُهُ  وَمَنْ قَطَعَهَا قَطَعْتُهُ

Allah azza wajalla berfirman: “Akulah Tuhan. Aku Maha Mengasihani! Aku ciptakan ‘rahim’ (kerabat) dan Aku ambil namaKu untuknya. Maka barang siapa yang menjalin tali  kerabatnya, niscaya Aku jalin dengannya. Barang siapa yang memutuskannya, niscaya Aku putus dengannya.”  (HR. Tirmizdi)

Kemudian hadis riwayat Imam Bukhari dengan sanad beliau dari Nabi Saw. bersabda:

لَيْسَ الوَاصِلُ بِالمُكَافِئِ، وَلَكِنِ الوَاصِلُ هُوَ الذِيْ إذَا قُطِعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا

Orang yang menyambung silaturahmi itu bukanlah yang menyambung hubungan yang sudah terjalin, akan tetapi orang yang menyambung silaturahmi ialah orang yang menjalin kembali hubungan kekerabatan yang sudah terputus. (HR. Bukhari)

Makna hadis tersebut adalah “Barang siapa yang sudi menyambung  kekerabatan (silaturahmi) maka ia memang telah bersilaturahmi dan membalas hubungan itu, menjalin seperti itu bukanlah bersilaturahmi yang sempurna, karena silatururahmi yang sempurna adalah menyambung hubungan yang tadinya sempat putus”.

Dan mengenai hl ini, pernah seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah Saw.

يَا رَسُولَ اللَّهِِ إِنََّ لِي قَرَابَةً أَصِلُهُمْ وَيَقْطَعُونِي، وَأُحْسِنُ إِلَيْهِمْ وَيُسِيئُونَ إِلَيَّ، وَأَحْلُمُ عَنْهُمْ وَيَجْهَلُونَ عَلَيَّ. فَقَالَ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنْ كُنْتَ كَمَا قُلْتَ؛ فَكَأَنَّمَا تُسِفُّهُمُ الْمَلَّ ــ الرَّمَاد الحَارــ وَلَا يَزَالُ مَعَكَ مِنَ اللَّهِِ ظَهِيرٌ عَلَيْهِمْ مَا دُمْتَ عَلَى ذَلِكَ.

Wahai Rasulullah aku mempunyai kerabat, aku menyambung mereka namun mereka memutusku, aku berbuat baik kepada mereka namun mereka berbuat jahat kepadaku, aku lemah lembut kepada mereka namun mereka berbuat kasar kepadaku. Nabi bersabda: Jika keadaanmu seperti yang engkau katakan, seakan-akan engkau menutupi mereka dengan rasa jenuh, dan senantiasa akan ada bersamamu penolong dari Allah selama engkau demikian. (HR. Muslim)

Dalam kitab Sahih Ibnu Hibban, diriwyatkan dari Sahabat Abi Zdar r.a. berkata:

اَوْصَانِى خَلِيْلِيْ بِخِصَالٍ مِنَ اْلخَيْرِ. اَوْصَانِى اَنْ لاَ اَنْظُرَ اِلَى مَنْ هُوَ فَوْقِى، وَ اَنْ اَنْظُرَ مَنْ هُوَ دُوْنِى. وَاَوْصَانِى بِحُبِّ اْلمَسَاكِيْنِ وَ الدُّنُوِّ مِنْهُمْ، وَ اَوْصَانِى اَنْ اَصِلَ رَحِمِى وَ اِنْ اَدْبَرَتْ، وَ اَوْصَانِى اَنْ لاَ اَخَافَ فِى اللهِ لَوْمَةَ اَءِمٍ، وَ اَوْصَانِى اَنْ اَقُوْلَ اْلحَقَّ وَ اِنْ كَانَ مُرًّا، وَ اَوْصَانِى اَنْ اُكْثِرَ مِنْ لاَ حَوْلَ وَ لاَ قُوَّةَ اِلاَّ بِاللهِ. فَاِنَّهَا كَنْزٌ مِنْ كُنُوْزِ اْلجَنَّة

Kekasihku Rasulullah Saw. mewasiatkan kepadaku dengan beberapa kebaikan. Beliau mewasiatkan kepadaku agar tidak melihat kepada orang yang (status) diatasku dan supaya aku melihat kepada orang yang di bawahku. Beliau mewasiatkan kepadaku supaya mencintai orang-orang miskin dan orang-orang yang lemah. Beliau mewasiatkan kepadaku agar aku menyambung hubungan sanak saudaraku meskipun mereka berpaling. Beliau mewasiatkan kepadaku supaya karena Allah aku tidak takut celaan orang yang mencela. Beliau mewasiatkan kepadaku supaya aku mengatakan yang benar meskipun pahit (akibatnya). Dan beliau mewasiatkan kepadaku supaya memperbanyak ucapan “Laa haula walaa quwwata illa billaah” (Tiada daya dan kekuatan kecuali atas pertolongan Allah), karena ucapan itu merupakan simpanan dari simpanan-simpanan surga. (HR. Ibnu Hibban di dalam shahihnya dan lafadh ini baginya, dalam Targhib wat Tarhib 3: 337)

Telah meriwayatkan Imam Tirmidzi dan mensahihkan sebuah hadis dari Rasulullah Saw. bersabda:

مَا مِنْ ذَنْبٍ أَجْدَرَ أنْ يُعَجِّلَ اللهُ لِصَاحِبِهِ العُقُوْبَةَ فِيْ الدُّنْيَا مَعَ مَا يَدَّخِرُ لَهُ فِيْ الآَخِرَةِ مِنَ البَغِي وَقَطِيْعَةِ الرَّحِمِ

Tiada suatu dosa yang patut Allah menyegerakan balasan terhadap pelakunya di dunia, di samping menyediakan balasan lain di akhirat, ialah kezaliman dan memutuskan tali kerabat.  (HR. Tirmizdi)

إنَّ أَعْجَلَ البِّرِ ثَوَابًا لصِلَةِ الرَّحِمِ، حَتَّى إنَّ أَهْلَ بَيْتٍ لَيَكُوْنُوا فَجْرَةً فَتَنْمُو أمْوَالُهُمْ، وَيَكْثُرُ عَدَدُهُمْ إذَا تَوَاصَلَوْا

Sesungguhnya kebaikan yang paling cepat pahalanya adalah silaturrahim. Sampai-sampai ada sebuah keluarga yang semuanya adalah orang-orang pelaku kemaksiatan. Namun harta mereka semakin banyak, dan jumlah mereka semakin bertambah serta solid, jika mereka mau menyambung persaudaraan. (HR. Tabrani)

إِنَّ أَعْمَالَ بَنِي آدَمَ تُعْرَضُ كُلَّ خَمِيْسٍ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ، فَلاَ يُقْبَلُ عَمَلُ قَاطِعِ رَحِمٍ

Sesungguhnya amal ibadah anak Adam itu diperlihatkan setiap hari Kamis malam Jum’at, maka tidak diterima amal ibadah orang yang memutuskan hubungan silaturahmi. (HR Ahmad)

Dan sebagaimana hadis riwayat Imam Tabrani dari Sahabat Ibnu Masu’ud r.a.,

كَانَ ابنُ مَسْعُوْدِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ جَالِسًا بَعْدَ الصُّبْحِ فِيْ حَلَقَةٍ فَقَالَ : أَنْشَدُ اللهَ قَاطِعَ رَحِمٍ لمَّا قَامَ عَنَّا، فَإِنَّا نُرِيْدُ أنْ نَدْعُوَ رَبَّنَا، وَإنَّ أبْوَابَ السَّمَاءِ مُرْتَجَةٌ دُوْنَ قَاطِعِ رَحِمٍ

Suatu pagi bakda subuh, sahabat Ibnu Mas’ud r.a. duduk di halakahnya, beliau berkata: “Aku bersumpah dengan nama Allah agar terhindar dari akibat buruk yang ditinggalkan orang yang memutus silaturahmi ketika ia beranjak meninggalkan aku. Sungguh aku ingin berdoa kepada Allah Tuhanku, dan ternyata pintu pintu langit tertutup ketika bersama orang yang memutuskan tali silaturahim. (HR. Thabrani). Wallahua’lam.


[1] Tafsir Ringkas Kemenag RI

Setelah Allah menjelaskan kewajiban berdakwah bagi umat Islam dan menjaga persatuan dan kesatuan, maka dalam ayat ini dijelaskan bahwa kewajiban tersebut dikarenakan kamu (umat Islam) adalah umat terbaik dan paling utama di sisi Allah yang dilahirkan, yaitu ditampakkan untuk seluruh umat manusia hingga akhir zaman, karena kamu menyuruh berbuat yang makruf, dan mencegah yang mungkar serta tidak bercerai berai dan berselisih tentang kebenaran ajaran agama Allah, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Kenyataannya di antara mereka ada yang beriman sebagaimana imannya umat Islam, sehingga sebagian kecil dari mereka ini pantas mendapat julukan sebaik-baik umat, namun kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik, tidak mau mengikuti petunjuk dan tidak taat kepada Allah serta mengingkari syariat-Nya.

[2] Rahim asal kata bahsa Arab bermakna rahim atau kandungan, kemudian di gunakan untuk istilah kerabat menjadi zdu rahim berarti zdu qarabah dan istlalah yang familiarnya adalah silaturrahim (hubungan persaudaraan atau kekeluargaan). (Kamus Mu’jam Al-Ghani)  sedangkan menurut KBBI V ejaannya adalah silaturahmi.  

[3] Satu rahim Umina hawa isteri Abina Adam a.s.

[4] Bukankah rezeki dan ajal telah ditakdirkan oleh Allah, sehingga tidak dapat dimajukan dan ditunda serta tidak dapat bertambah dan berkurang?. Bukankah apa yang telah ditakdirkan oleh Allah, tiada siapa pun yang dapat mengubahnya karena takdir Allah adalah kepastian dan tidak bisa berubah?.

Ada beberapa jawaban yang dikemukakan oleh para ulama untuk memadukan antara hadits dan ayat tersebut, sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam Fathul Bari dan al-Hafizh an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim. Di antaranya:

Pertama, penambahan umur (penangguhan ajal) yang dimaksud dalam hadits adalah kinayah (kiasan) mengenai berkahnya usia. Artinya, dengan sebab silaturahim, seseorang akan diberi kemampuan berbuat ketaatan, dan diberi kemudahan untuk dapat melalui masa hidupnya dengan hal-hal yang memberikan manfaat kepadanya kelak di akhirat, sekaligus ia dijaga dari tindakan menyianyiakan umurnya dalam hal-hal yang tidak bermanfaat. Jadi silaturahim menjadi sebab bagi seseorang untuk memperoleh taufiq (kemampuan berbuat taat) dan menjadi sebab terjaga dari maksiat. Dengan demikian, keharuman namanya akan tetap terjaga meski ia telah meninggal. Di antara yang ia peroleh dengan sebab taufiq yang Allah berikan kepadanya adalah ilmu yang bermanfaat sepeninggalnya, shadaqah jariyah dan keturunan yang shalih.

Kedua, penambahan usia seperti yang disebut dalam hadits di atas, maknanya adalah hakiki (arti sebenarnya), bukan kiasan. Namun yang dimaksud penambahan usia dalam maknanya yang hakiki itu adalah yang terkait dengan ilmu dan pengetahuan malaikat yang ditugasi oleh Allah mengurusi umur. Adapun yang dijelaskan ayat bahwa ajal tidak dapat dimajukan maupun ditunda, maksudnya adalah yang terkait dengan ilmu Allah.

Dikatakan kepada malaikat, misalkan, bahwa usia Fulan seratus tahun jika ia bersilaturahim, dan jika memutus silaturahim usianya hanya enam puluh tahun. Sedangkan Allah telah mengetahui dan menentukan pada azal (keberadaan yang tidak bermula) bahwa Fulan itu akan bersilaturahim ataukah akan memutuskan silaturahim, dan usianya akan mencapai seratus tahun ataukah hanya enam puluh tahun. Semuanya telah diketahui dan ditakdirkan oleh Allah. Dan tentu saja, takdir dan ketentuan Allah tidak akan berubah sebagaimana dijelaskan dan disepakati oleh para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah.

Jadi apa yang dalam ilmu Allah tidak berubah. Sedangkan yang mungkin menerima penambahan maupun pengurangan adalah yang ada dalam ilmu malaikat. Hal ini diisyaratkan oleh firman Allah:

يَمْحُوا اللهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الكِتَابِ

“Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan pada-Nya terdapat Ummul Kitab (Lauh Mahfuzh)” (ar-Ra’d: 39)

Penetapan dan penghapusan terkait dengan apa yang ada dalam ilmu malaikat. Inilah yg disebut Qadla’ Mu’allaq. Dan apa yang ada dalam Ummul Kitab, hal itulah yang ada dalam ilmu Allah dan tidak ada penghapusan sama sekali. Inilah yg disebut Qadla’ Mubram. https://umma.id/article/share/id/1002/381694

Tinggalkan komentar